Sabtu, 28 Desember 2013

sunan bonang




                                                                   

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri,
yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.


Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.

Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.

Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang 
piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.

Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.

Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.

Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.

Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa
Magician's wand image title banner for www.goodtricks.net  card and magic trick learning site.

Welcome:

Goodtricks.net is designed as an aid to learning about the exciting world of magic. You will find lots of easy magic tricks to learn at your own speed.
Enjoy the site and good luck with your magic tricks.

Quick Links:

 

Cool Card Tricks

The most popular magic category. A little practice will help you to perform cool card tricks and easy card magic tricks. Learn magician misdirection sleights and have fun as you discover some cool dealer secrets and handling skills revealed to help impress and entertain your audience every time with our tips and our easy card trick tutorial videos
Easy Card Change Easy Card Vanish
Perfect Ten Prediction Rising Card Trick
Card Snap Change Anti Gravity Card Stunt
Three Card Showdown Card Melt Illusion
Card Vanish Amazing Jumping Jack
Wild Card Trick World's Simplest Trick
Card Balance Trick Card Warp
Pull Cards From Air Amazing Memory Deck
Card Sleights Psychic Card Trick
Torn & Restored Card Card Forces
Three Card Monte Super Joker
Magic In A Glass Head Banger Trick
You're The Magician !! Poker Midas Touch
Ace Shake Master System
Telekinetic Card Bend Card Snatch Trick
Learn The Classic Force Self Working Card Trick
Rub A Dub Vanish Card Bounce Trick
Hula Hoop Trick All The Aces
Easy Card Levitation Teleporting Card
Card Stretch
Finely Tuned Touch Magic Spelling Trick
Meet Your Match Impromptu Card Trick
Mathomatic All The Aces
Super Skimmer Magic Spelling Trick
Bottoms Up Magic Spell
Matching Sisters Trick Credit It Card Trick
Elevator Card Stunt Super Ink Fusion
Unsolvable Mystery Trick Fruit Loops

Learn how an ordinary pack of playing cards can become an important piece of kit in every street magician such as Dynamo's props. Whether a poker playing wizard or an occasional gin rummy player, card magician magic has universal appeal. Start off by learning some easy card tricks with our tutorials and as you develop the basic skills you can then move on to more advanced illusions. It may take a while to reach David Blaine or Criss Angel standard but you should have a lot of fun along the way. A good book for learning card magic is The Royal Road to Card Magic which is a card magic classic and and a valuable learning aid

 

Ads not by this site
Ads not by this site


Sunan Drajat merupakan satu dari sembilan wali yang terkenal disebut Wali Songo. Sunan yang terkenal akan kedermawannya ini, diketahui punya banyak nama, diantaranya adalah Raden Qasim atau Kasim, Masaikh Munat, Pangeran Kadrajat, Pangeran Syarifudin, Syekh Masakeh, Maulana Hasyim, Raden Imam, Sunan Muryapada, dan Sunan Mahmud. Sunan Drajat merupakan putra dari Sunan Ampel dari pernikahannya dengan Nyi Ageng Manila alias Dewi Condrowati. Raden Qosim merupakan satu dari empat bersaudara. Saudara-saudaranya antara lain adalah  Sunan Bonang, Siti Muntisiyah (istri Sunan Giri), Nyi Ageng Maloka (istri Raden Patah), dan seorang putri yang merupakan istri Sunan Kalijaga.

Sunan Drajat -shalimow.com
Dikisahkan, Sunan drajat menghabiskan masa kanank-kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampel Denta, Surabaya. Setelah dewasa, beliau diperintahkan oleh ayahandanya, Sunan Ampel, untuk berdakwah ke pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah kisah, yang nantinya berkembang menjadisebuah legenda. Maka, berlayarlah Sunan Drajat. Dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalananannya, perahu yang ditumpangi Sunan drajat terseret badai dan kemudian pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Sunan Dajat selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Selanjutnya, beliau ditolong oleh ikan cucut dan ikan talang (ada juga yang menyebut ikan cakalang). Dengan menunggang pada kedua ikan tersebut, Sunan Drajat berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Berdasarkan sejarah, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1485 Masehi. Di sana, Sunan Drajat disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah dan Mbah Mayang Madu.

Dikisahkan,, dua tokoh tersebut sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di tempat itu beberapa tahun sebelumnya. Sunan Drajat lantas menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri dari Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim kemudian mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk. Jelak, yang mulanya hanyalah dusun kecil yang terpencil, lama kelamaan tumbuh menjadi kampung yang besar dan ramai. Namanya pun berubah menjadi Banjaranyar. 3 tahun kemudian, Sunan Drajat pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, menuju tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat tersebut kemudian  dinamai Desa Drajat. Dari sinilah beliau mulai mendapatkan gelar Sunan Drajat.

Akan tetapi, Sunan Drajat masih menganggap lokasi tersebut belum strategis untuk dijadikan pusat dakwah Islam. Sunan Drajat kemudian diberi izin oleh Sultan Demak, yang merupakan penguasa Lamongan waktu itu, untuk membuka lahan baru di wilayah perbukitan yang ada di selatan. Lahan yang masih berupa hutan belantara tersebut dikenal oleh penduduk sekitar sebagai daerah yang angker. Berdasarkan sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah saat pembukaan lahan tersebut. Mereka lantas meneror penduduk di malam hari, dan menyebarkan penyakit. Akan tetapi, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasinya. Sesudah pembukaan lahan selesai, Sunan Drajat bersama para pengikutnya kemudian membangun permukiman baru, seluas sekitar 9 hektar.

Atas petunjuk Sunan Giri, melalui mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang sata ini menjadi kompleks pemakaman, dan disebut Ndalem Duwur. Sunan Drajat kemudian mendirikan masjid sedikit jauh di bagian barat tempat tinggalnya. Masjid inilah yang kemudian menjadi tempat dakwah beliau  menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk. Sunan Drajat menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, sampai beliau akhirnya wafat pada tahn 1522. Di tempat ini saat ini dibangun sebuah museum sebagai tempat penyimpanan barang-barang peninggalan Sunan Drajat (termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya). Sementara lahan bekas tempat tinggal Sunan Drajat saat ini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Beliau menurunkannya kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik itu melalui perkataan ataupun perbuatan. ''Bapang den simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuah beliau. Yang kurang lebih maksudnya adalah, "jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu". Sunan Drajat memperkenalkan Islam dengan konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara bijak, tanpa paksaan. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan Drajat menempuh  5 metode. Pertama, melalui pengajian secara langsung di masjid ataupun langgar. Kedua, dengan menyelenggarakan pendidikan di pesantren. Ketiga, memberi fatwa dan petuahnya dalam menyelesaikan masalah. keempat, dengan kesenian tradisional. Sunan Drajat seringkali berdakwah melalui tembang pangkur dengan iringan gending. Kelima, beliau juga menyampaikan ajaran Islam melalui ritual adat tradisional, asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat ialah:
  • Paring teken marang kang kalunyon lan wuta (berikat tongkat pada yang buta)
  • paring pangan marang kang kaliren (berikan makan pada yang kelaparan)
  • paring sandang marang kang kawudan (berikan pakaian pada yang telanjang)
  • paring payung kang kodanan.berikan payung pada yang kehujanan)

Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Belaiu seringkalai berjalan mengelilingi kampung pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, semakain merajalela selama dan sesudah pembukaan hutan. Selesai shalat asar, Sunan Drajat juga mengelilingi kampung sambil berzikir dan mengingatkan penduduk untuk melaksanakan shalat magrib. ''Berhentilah bekerja, jangan lupa shalat,'' katanya dengan nada membujuk. Beliau selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobati memakai ramuan tradisional yang disertai dengan doa. Seperti halanya para wali lainnya, Sunan Drajat terkenal saktia. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan Drajat saat beliau merasa kelelahan dalam sebuah perjalanan. Saat itu, Sunan drajat meminta pengikutnya unuk mencabut wilus (sejenis umbi hutan). Sata Sunan Drajat kehausan, Beliau berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi tersebut memancar air bening yang selanjutnya menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikah dengan tiga wanita. Sesudah menikahi Kemuning, saat menetap di Desa Drajat, Sunan Drajat menikahi Retnayu Condrosekar yang merupakan putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.

Peristiwa tersebut diperkirakan terjadi pada tahun 1465 Masehi. Berdasarkan Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat ialah Dewi Sufiyah yang merupakan putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Sunan Drajat sempat dikirim ayahnya untuk berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Sunan yang memiliki nama Syarif Hidayatullah itu adalah bekas murid Sunan Ampel. Di kalangan para ulama di Jawa, bahkan sampai saat ini, memang ada tradisi ''saling memuridkan''. Dalam Babad Tjerbon dikisahkan, sesudah menikah denagn Dewi Sufiyah, Sunan Drajat tinggal di Kadrajat. Beliau pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.

Bekas padepokan Pangeran Drajat saat ini menjadi kompleks pemakaman, lengkap dengan cungkup makam petilasan, yang terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang dinamai Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar serta Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga orang putra. Anak bungsu bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Yang kedua Pangeran Sandi, dan anak yang bungsu, Dewi Wuryan. Ada pula cerita yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikahi Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat orang putra. Akan tetapi, cerita ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.

Tidak jelas, apakah Sunan Drajat datang ke Jelak sesudah berkeluarga atau belum. Akan tetapi, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ''Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga....''. ketika diperintah Sunan Ampel, Sunan Drajat konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya saat perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mempelajari naskah kuno untuk menjawa hal itu.

Jumat, 27 Desember 2013

cinde amoh

CINDE AMOH dalam ragam versi


Desa Sembayat merupakan salah satu desa yang berada di wilayah kecamatan Manyar kabupaten Gresik, sekitar 15 km arah utara kota Gresik. Nama desa itu tidak asing lagi bagi para pengguna jalan Pantura (Pantai Utara).Lebih-lebuh pada saat seputar lebaran Idul Fitri. Jalan itu dijadikan sebagai salah satu jalan alternatif bagi pemudik.
Desa itu sangat dikenal oleh para pengguna jalan Pantura karena desa itu berada di sebelah selatan jembatan yang melintas di atas sungai terpanjang di pulau Jawa, yakni Bengawan Solo. Jembatan itu menghubungkan wilayah kecamatan Bungah dengan wilayah kecamatan Manyar.
Namun demikian, belum banyak masyarakat yang tahu mengapa desa itu dinamai Sembayat. Menurut kitab Asal-usul Ujungpangkah karangan Syeikh Muridin, keturunan kelima Sunan Bonang Tuban, nama sembayat berhubungan erat dengan kisah Cinde Amo.

Siapa sebenarnya Cinde Amo itu?
Cinde Amo alias Jaka Sekintel adalah putra keempat Jayeng Katon bin Sunan Bonang Tuban dari lima bersaudara. Kelima putra Jayeng Katon adalah Pendel Wesi, Jaka Karang Wesi, Cinde Amo, Jaka Berek Sawonggaling, dan Jaka Slining.
Cinde Amo, cucu Sunan Bonang, saat masih remaja dipondokkan oleh orang tuanya di Pondok yang diasuh oleh  Sunan Giri  di Giri Gresik. Sebenarnya antara Cinde Amo dengan Sunan Giri masih ada hubungan keluarga. Cinde Amo putra Jayeng Katon. Jayeng Katon putra Sunan Bonang. Sunan Bonang putra Sunan Ampel. Sunan Ampel putra Syeikh Ibrahim Asmarakondi. Syeikh Ibrahim Asmarakondi adalah putra Syeikh Jamaluddin Jumadil Kubra.
. Syeikh Jamaluddin Jumadil Kubra sebagai penyebar Islam di pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Beliau termasuk Walisongo periode pertama. Beliau berputra tiga orang, yakni Syeikh Ibrahim Asmarakondi, Syeikh Abdullah Asyari, dan Syeikh Maulana Ishak. Syekh Ibrahim Asmarakandi pesareannya di desa Gresikharjo kecamatan Palang Tuban, 8 km sebelah timur kota Tuban. Syeikh Abdullah Asyari pesareannya di desa Bejagung Tuban, 2 km sebelah selatan kota Tuban. Syeikh Maulana Ishak kembali ke Pasai dan wafat di sana.
Hubungan kekeluargaan antara Cinde Amo dengan Sunan Giri bertemu di Syeikh Jamaluddin Jumadil Kubra yang melatarbelakangi Jayeng Katon mempercayakan pendidikan Cine Amo, putranya kepada Sunan Giri. Disamping agar Cinde Amo bisa memperdalam ilmu syariat agama Islam kepada Sunan Giri.Jayeng Katon tidak salah memilih Sunan Giri sebagai guru putranya karena memang Sunan Giri dikenal sebagai seorang wali yang menguasai ilmu syariat agama Islam. Hal ini terbukti dengan gelar Ainul Yaqin yang diterimanya juga untuk memperkokoh hubungan kekeluargaan.
Setelah menamatkan pelajaran di pondok Sunan Giri, Cinde Amo pulang ke Ujungpangkah. Untuk mengamalkan ilmunya, Cinde Amo mendirikan pondok pesantren di Unusan Pangkahwetan Ujungpangkah. Pondok itu dikenal dengan nama Pondok Unusan. Pondok itu berada di tepi pantai, kala itu sebelum berubah menjadi ujung. Untuk mencari pondok Unusan tidak terlalu sulit karena di sekitar pondok itu ditandai dengan pohon kamboja. Di bawah pohon kamboja itu juga digunakan oleh Cinde Amo sebagai tempat untuk mengajarkan ilmu-ilmu kepada para santrinya. Cinde Amo rupanya sudah menerapkan sistem pendidikan modern. Pendidikan tidak hanya dilaksanakan di dalam ruang belajar belajar saja, namun juga menggunakan alam sekitar sebagai tempat belajar.
Suatu hari Cinde Amo dipanggil Nyai Jika, panggilan ibunya, untuk mencari Jayeng Katon, ayahnya yang sudah lama meninggalkan Ujugpangkah untuk berdakwah keliling pulau Jawa dan ke luar pulau Jawa. Sebenarnya Nyai Jika sudah menugasi saudara-saudara Cinde Amo untuk mencari orang tua mereka, namun belum berhasil. Pendil Wesi, putra pertama, mencari di wilayah Lamongan dan sekitarnya, Jaka Karang Wesi mencari ke wilayah Demak dan sekitarnya, Jaka Berek Sawonggaling ke wilayah dan sekitarnya. Namun, ketika kakak Cinde Amo belum berhasil menemukan keberadaan Jayeng Katon. Maklum Jayeng Katon suka berdakwah dari tempat yang satu ke tempat lainnya sambil bersilaturrahim kepada keluarga dan para santrinya yang pernah belajar di pondok Pangkah miliknya.
Kini giliran Cionde Amo, putra keempat Nyai Jika yang ditugaskan mencari abahnya. Ia pergi untuk mencari abahnya. Ketiga kakaknya telah kembali dengan tangan hampa. Mereka tidak berhasil menemukan abahnya. Ia bertugas mencari keberadaan abahnya di wilayah Gresik dan sekitarnya karena waktu kecil ia dipondokkan di pondok Sunan Giri yang berada di pegunungan  Giri Gresik.
Cinde Amo bersilaturrahim ke Sunan Giri gurunya untuk meminta petunjuk keberadaan abahnya. Di pondok Giri Cinde Amo teringat masa-masa belajar dengan Sunan Giri. Ia mempelajari dengan tekun pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Ia juga menghapalkan Alquran selama di pondok. Ia baru meninggalkan pondok Giri setelah tamat belajar dan hapal Alquran.
Sunan Giri memberikan petunjuk kepada santrinya itu tempat-tempat yang biasa didatangi Jayeng Katon abahnya. Ia mendatangi ke pelosok wilayah Gresik dan sekitarnya. Di tempat-tempat yang ditunjukkan Sunan Giri itu telah didatanginya namun abahnya tidak dijumpainya di sana. Jayeng Katon sudah lama meninggalkan wilayah Gresik. Karena sudah tidak menemukan abahnya di wilayah itu, Cinde Amo memutuskan pulang ke Ujungpangkah.
Di tengah perjalanan Cinde Amo bertemu dengan seorang gadis cantik. Ia terpikat gadis itu. Ia datangi rumah orang tua gadis itu. Ia mengutarakan maksud kedatangannya kepada orang tua gadis itu. Orang tua gadis itu menanyakan keluarga Cinde amo. Cinde Amo mengutarakan kepada calon mertunya dengan apa adanya. Ia tidak menambah dan tidak mengurangi. Ia masih memegang teguh ajaran gurunya agar ia selalu berkata jujur kepada siapa saja karena jujur itu termasuk sifat orang beriman. Sebaliknya berbohong itu termasuk sifat orang munafik.
Lamaran Cinde Amo diterima setelah mengetahui latar belakang keluarnya. Ia dinikahkan dengan putrinya. Setelah menikah ia membuat pondokan sendiri. Di pondokan itu penduduk setempat menyuruh anak-anaknya untuk belajar ilmu agama kepada. Kian hari kian bertambah anak-anak yang datang.Mula-mula anak-anak penduduk setempat lama-kelamaan anak-anak dari luar ikut membanjiri rumahnya. Rumahnya berubah menjadi pondok. Masyarakat setempat dan penduduk sekitarnya datang menitipkan putra-putrinya untuk dididik oleh Cinde Amo. Cinde Amo terkenal di tempat itu sebagai orang yang alim dan hapal Alquran. Banyak ulama yang datang ke pondoknya untuk berdiskusi tentang ayat-ayat dalam kitab suci Alquran. Mereka mohon penjelasan makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran. Cinde Amo menerangkan secara gamblang makna yang tersurat maupun yang tersirat dari ayat-ayat yang dipertanyakan. Ia juga banyak didatangi ulama-ulama dari berbagai daerah untuk memesan tulisan tangan. Ada ulama yang datang memesan Alquran Stambul, quran berukuran kecil.
Suatu hari Sunan Kalijogo bersilaturrahim ke pondoknya. Ia memberi wejangan kepada Cinde Amo. Wejangan itu disampaikan dalam bentuk tembang dandang gulo. Wejangan itu dihapal oleh Cinde Amo. Tembang itu sering dilagukan oleh Cinde Amo di pondoknya sebelum memberikan pelajaran kepada santri-santrinya.
Dalam kesempatan itu, Sunan Kalijogo memanggil Cinde Amo dengan sebutan       Ki Ageng Mbah Ayat karena kedalaman ilmunya dalam memahami setiap ayat-ayat Alquran. Sejak saat itu para santri dan penduduk setempat bahkan ulama-ulama yang datang ke pondoknya memanggilnya Ki Ageng Mbah Ayat. Dari panggilan itu muncul panggilan-panggilan serupa seperti Mbah Ayat, Si Mbahe Ayat, Ki Mbayat. Dari panggilan itu namanya diabadikan sebagai nama tempat pondoknya. Pondoknya disebut Pondok Mbayat atau Pondok Sembayat. Desa tempat pondoknya berada disebut Sembayat atau Bayat.
Suatu hari Ki Ageng Bayat pulang ke Ujungapangkah. Ia ke pondok Unusan menemui santri-santri yang lama ditinggalkan mengembara mencari Jayeng Katon. Ia juga mengunjungi Nyai Jika dan mengabarkan kegagalannya mencari abahnya. Ia harus bolak balik dari pondok Unusan Ujungpangkah ke Pondok Bayat. Cinde Amo mempunyai tiga belas putra. Sepuluh dari putra Cinde Amo tinggal di wilayah Sembayat sedangkan tiga lainnya menetap di Ujungpangkah.  Jaka Sembung adalah anaknya yang dipercaya membantu mengasuh pondok Unusan Ujungpangkah bila dirinya pergi berdakwah.
Pada masa tuanya Cinde Amo memilih menetap di Ujungpangkah untuk mengurusi pondok Unusan yang lama ditinggalkan hingga akhir hayatnya. Sedangkan pondok Sembayat dipercayakankan kepada putra-putranya untuk meneruskan kelangsungan pendidikannya. Cinde Amo wafat di Ujungpangkah dan dikuburkan di sekitar pondok Unusan Pangkahwetan Ujungpangkah. Makam tempat Cinde Amo dikuburkan dikenal dengan nama kuburan Unusan. Kini kuburan Cinde Amo itu berada di belakang gedung SDN Pangkahwetan 2 Ujungpangkah.

lambang spakes


Cerita Kuda SEMBRANI dalam berbagai ragam


Alkisah tentang jokotole, Pada suatu ketika waktu Jokotole bergelar Pangeran Setyodiningrat III memegang pemerintahan di Sumenep kurang lebih 1415 th, datanglah musuh dari negeri Cina yang dipimpin oleh Sampo Tua Lang dengan berkendaraan kapal yang dapat berjalan di atas Gunung di antara bumi dan langit.
Didalam peperangan itu Pangeran Setyoadiningrat III mengendarai kuda terbang sesuai petunjuk dari pamannya (Adirasa), pada suatu saat ketika mendengar suara dari pamannya yang berkata "pukul" maka Jokotole menahan kekang kudanya dengan keras sehingga kepala dari kuda itu menoleh kebelakang dan ia sendiri sambil memukulkan cambuknya yang mengenai Dempo Awang beserta perahunya sehingga hancur luluh ketanah tepat di atas Bancaran (artinya, bâncarlaan), Bangkalan. Sementara Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan Socah
Dengan kejadian inilah maka kuda terbang yang menoleh kebelakang dijadikan lambang bagi daerah Sumenep, sebenarnya sejak Jokotole bertugas di Majapahit sudah memperkenalkan lambang kuda terbang.


Alkisah Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak, memiliki putera sulung bernama Pati Unus yang kemudian menggantikannya menjadi Raja Demak ke-2. Pati Unus dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor karena memimpin armada menyebrang Laut Jawa menuju Malaka untuk mengusir Portugis, namun ia gugur dalam pertempuran itu.
Sepeninggal Pati Unus, terjadi perebutan tahta antara Raden Trenggana, adik kandung Pati Unus yang lahir dari permaisuri, dan Raden Kikin yang lahir dari garwa ampeyan, putri Adipati Jipang. Dalam perseteruan itu, Raden Kikin dibunuh di tepi kali seusai sembahyang Jumat oleh Ki Surayata dengan menggunakan Keris Kiai Setan Kober. Ki Surayata adalah orang suruhan Raden Mukmin, putera sulung Raden Trenggana. Raden Kikin kemudian dikenal sebagai Pangeran Sekar Seda Lepen, karena meninggal di tepi kali.
Sultan Trenggana memerintah Demak tahun 1521 – 1546. Pada masanya muncul tokoh Jaka Tingkir, yang kemudian menikahi puteri Trenggana bernama Ratu Mas Cempaka, dan Sultan Trenggana lalu mengangkat Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang bergelar Adipati Hadiwijaya.
Sepeninggal Sultan Trenggana, Raden Mukmin menjadi Raja Demak dan memindahkan pusat kerajaan dari Bintoro ke perbukitan Prawoto, sehingga dikenal sebagai Sunan Prawoto. Namun belum lama memerintah, putera Pangeran Sekar Seda Lepen yang bernama Arya Penangsang, membalas dendam atas kematian ayahnya dengan mengutus orang bernama Rangkud ke Prawoto pada tahun 1549, dan berhasil membunuh Sunan Prawoto di kamar tidurnya.
Selanjutnya terjadi perebutan kekuasaan antara Arya Penangsang dengan Adipati Hadiwijaya, yang mendapat dukungan dari Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto, yang suaminya juga dibunuh oleh Arya Penangsang) dan Arya Pangiri, putera Sunan Prawoto.
Namun karena Arya Penangsang dan Hadiwijaya sama-sama murid Sunan Kudus, Hadiwijaya segan memeranginya langsung, sehingga membuat sayembara untuk membunuh Arya Penangsang. Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi mengikuti sayembara itu. Dalam pertempuran Pajang melawan Jipang, Ki Gede Pemanahan menugaskan Sutawijaya, anaknya, untuk menghadapi Arya Penangsang. Sutawijaya pun dibekali oleh Adipati Hadiwijaya dengan tombak pusaka Kyai Plered yang sangat ampuh.
Singkat cerita, Arya Penangsang tewas saat kerisnya yang bernama Kyai Setan Kober ditarik dari wrangka olehnya dengan maksud menghabisi Sutawijaya, namun justru memotong ususnya sendiri yang terburai terkena tusukan tombak Kyai Plered Sutawijaya. Tewasnya Arya Penangsang konon karena menyeberang Kali Opak, pantangan yang seharusnya tidak dilakukannya sesuai pesan Sunan Kudus, yang mengakibatkan ilmu kebalnya luntur.
Adalah Ki Juru Martani, kakak ipar Ki Gede Pemanahan, yang mengatur taktik agar dalam pertempuran itu Sutawijaya naik kuda betina, sehingga kuda jantan Arya Penangsang yang bernama Gagak Rimang menjadi berahi, tidak terkendali, dan membawa Arya Penangsang menyeberangi Kali Opak.
Sebagai penghargaan atas terbunuhnya Arya Penangsang, Adipati Hadiwijaya yang kemudian menjadi Sultan Pajang, menghadiahkan Pati kepada Ki Penjawi, dan Alas Mentaok kepada Ki Gede Pemanahan, dimana kemudian berdiri Kerajaan Mataram.

Alkisah, tersebutlah seorang Raja Mataram bernama Sultan Agung. Suatu saat, Sultan Agung mendapat petunjuk gaib untuk memperkerjakan seorang abdi bernama Ki Bodho agar Kerajaan Mataram sejahtera.

Segeralah Sultan Agung memerintahkan abdi-abdinya untuk mencari Ki Bodho. Singkat cerita, Ki Bodho diketemukan dan menghadaplah ia ke Sultan Agung. Oleh sebab Ki Bodho ini memang bodoh (duh!) maka mulanya ia menolak ketika Sultan Agung meminta dirinya menjadi abdi. Namun, setelah dibujuk-bujuk akhirnya Ki Bodho bersedia.

Sultan Agung kemudian meminta saran Ki Bodho untuk mensejahterakan Kerajaan Mataram. Ki Bodho pun mengusulkan agar Kerajaan Mataram memelihara seekor kuda sembrani. Konon, kuda sembrani hanya terdapat di Mekkah. Namun, bukan masalah bagi Sultan Agung yang memang sakti untuk mendapatkannya. Semenjak itu, Ki Bodho diserahkan tugas merawat kuda sembrani.

Suatu saat, kuda sembrani itu lolos dari kandangnya. Gusti Ratu Puteri–permaisuri Sultan Agung –mengetahuinya dan lantas berlari mengejarnya. Namun, karena kuda sembrani itu lincah dan bisa terbang, maka Gusti Ratu Puteri tidak sanggup mengimbanginya. Ditambah lagi, sewaktu itu Gusti Ratu Puteri sedang hamil.

Di dekat sebuah gunung, Gusti Ratu Puteri menghentikan larinya. Di tempat itu pula gugurlah kandungannya. Gusti Ratu Puteri lantas sedih bukan kepalang. Di tengah kesedihannya itu muncullah seorang wanita cantik yang memperkenalkan dirinya sebagai Ratu Permoni. Ia menjanjikan bisa menangkap kembali kuda sembrani asalkan Gusti Ratu Puteri memenuhi permintaannya.

Tanpa pikir panjang, Gusti Ratu Puteri mengiyakan permintaan Ratu Permoni. Oleh Ratu Permoni, diperintahkannya Gusti Ratu Puteri untuk kembali ke keraton Mataram. Tak disangka, sesampainya Gusti Ratu Puteri di keraton, ia menemukan kuda sembrani terikat di kandangnya.

Siapa sangka, sebenarnya Ratu Permoni tak lain adalah Ratu Pantai Selatan dan permintaannya adalah menjadi istri dari Sultan Agung (dan mungkin seluruh raja Kerajaan Mataram).

young generation

S: olidaritas
P:emuda
A:rek
KE:emantren
S:ehati